Hasil kebudayaan perunggu
1) Kapak perunggu
Keterangan mengenai kapak perunggu pertama kali diberikan oleh Rumphius pada awal abad ke-18. Sejak pertengahan abad ke-19, mulai dilakukan penelitian, pengumpulan, dan pencatatan tentang asal usul kapak perunggu oleh Koninklijk Bataviaasch Genootschap. Berdasarkan tipologis, kapak perunggu dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu kapak corong (kapak sepatu) dan kapak upacara (candrasa).
a) Kapak corong
Kapak corong merupakan salah satu jenis dari kapak perunggu. Kapak corong memiliki corong untuk memasukkan kayu sebagai tangkainya, sehingga disebut kapak corong. Kapak corong memiliki banyak ragam ukuran. Jenis peralatan ini banyak ditemukan di Sumatra Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Pulau Selayar, dan Papua di daerah Danau Sentani.
b) Candrasa
Candrasa merupakan jenis kapak perunggu yang memiliki keindahan bentuk. Candrasa berfungsi sebagai alat kebesaran dan upacara keagamaan. Melihat bentuknya yang memiliki panjang pada salah satu sisinya dan ragam hiasan yang tampak, tidak mungkin jika alat tersebut digunakan sebagai alat pertanian. Candrasa banyak ditemukan di Sumatra Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi, Papua, dan Flores.
2) Nekara
Nama nekara terdapat dalam berbagai bahasa di dunia, mulai dari kettledrum sebagai nama yang paling sering digunakan. Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia, nekara adalah gendang perunggu berbentuk seperti dandang, berpinggang pada bagian tengah dengan selaput suara berupa logam atau perunggu. Fungsi nekara lebih sebagai alat upacara, yaitu ditabuh untuk memanggil roh nenek moyang dan upacara untuk memanggil hujan.
Secara proporsional, nekara dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian atas, tengah, dan bawah. Bagian atas dibagi menjadi bidang pukul dan bahu. Istilah bidang pukul diberikan pada bagian atas yang berarti tempat atau bagian yang dipukul. Bagian bahu adalah bagian yang terletak tepat di bawah bagian bidang pukul. Pegangan atau telinga terdapat di antara bagian bahu dan tengah. Bagian tengah nekara sering disebut pinggang. Bagian bawah atau kaki adalah bagian paling bawah berongga dan tidak tertutup.
Nekara banyak ditemukan di Jawa, Bali, Rote, Selayar, dan Kei. Nekara terbesar ditemukan di Bali yang dikenal dengan Nekara Bulan Pejeng. Nekara yang ditemukan di Bali memiliki diameter 160 cm dan tingginya 186 cm. Nekara ini sekarang disimpan di Pura Panataransasih, Gianyar, Bali. Nekara Bulan Pejeng dianggap sebagai benda suci, sehingga tidak tiap saat orang boleh melihatnya. Sampai saat ini, pada saat-saat tertentu nekara tersebut digunakan dalam upacara-upacara ritual.
Nekara-nekara yang ditemukan di Indonesia, biasanya memiliki hiasan yang beraneka ragam. Melalui hiasan-hiasan tersebut dapat diketahui gambaran kehidupan dan kebudayaan yang ada pada masyarakat prasejarah.
Nekara ada juga yang berukuran kecil yang disebut dengan moko. Moko sudah masuk dalam buku catatan Batavia pada tahun 1871 dengan sebutan genderang tipe Alor. Pada tahun 1880, A. Coifs menulis bahwa moko sangat penting dan mahal serta digunakan untuk mengiringi tarian. Moko ditemukan di daerah Alor. Moko juga dapat difungsikan sebagai pusaka atau mas kawin.
3) Bejana perunggu
Bejana perunggu di Indonesia hanya ditemukan di tepi Danau Kerinci (Sumatra) dan Asemjaran, Sampang (Madura). Bejana perunggu berbentuk bulat panjang seperti kepis atau keranjang untuk tempat ikan. Bejana ini dibuat dari dua lempengan perunggu yang cembung dan dilekatkan dengan pucuk besi pada sisi-sisinya. Pola hias pada tiap-tiap bejana tidak sama.
Bejana perunggu yang ditemukan di Madura mempunyai ukuran tinggi 90 cm dan lebar 54 cm. Hiasan pada bagian leher terbagi atas tiga ruang. Ruang pertama berisi lima buah tumpal berderet dan di dalam pola ini terdapat gambar burung merak. Ruang kedua berisi pola huruf "J" yang disusun secara selang-seling tegak dan terbalik. Pada ruang tiga juga berisi pola tumpal berderet sebanyak 4 buah. Di dalam pola tumpal terdapat gambar seekor kijang. Tumpal adalah motif batik dengan lukisan tiga strip berjajar.
Bejana perunggu yang ditemukan di Kainci, Sumatra berukuran panjang 50.8 cm dan lebar 37 cm. Sebagian besar bejana perunggu ini sudah hilang. Bagian leher dihiasi dengan pola huruf "J" dan di antara pola tersebut terdapat pola anyaman. Bagian pinggang dan tepi dihias dengan pola tumpal. Hiasan pada bagian badan berupa pola huruf "J" dan anyaman. Bagian tengah badan terdapat pola huruf "S". Selain itu, di dekat bagian leher, tampak logam berlekuk yang kemungkinan digunakan untuk menggantungkan bejana pada tali.
Selain di Madura dan Kerinci, jenis bejana perunggu juga banyak ditemukan di Pnom Penh, Kamboja. Fakta itulah yang kemudian memperkuat teori bahwa perkembangan kebudayaan perunggu di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan kebudayaan perunggu di Asia yang berpusat di Dongson.
4) Patung atau arca perunggu
Patung-patung perunggu yang ditemukan di Indonesia mempunyai berbagai macam bentuk, seperti bentuk hewan dan manusia. Patung yang berbentuk manusia, misalnya berupa penari-penari yang bergaya dinamis. Selain itu, bentuk muka patung berbeda-beda, ada yang bermuka lebar, bermata besar, serta hidung dan mulut yang besar pula. Patung-patung perunggu tersebut mempunyai sikap yang berlainan, seperti bersikap lurus atau melompat dengan tangan ditarik ke depan, ke samping, atau ke belakang. Patung-patung perunggu banyak ditemukan di Bangkinang (Riau).
Gaya pada patung-patung perunggu memperlihatkan kesamaan dengan gaya seni zaman besi awal di Kaukasia. Ada juga patung berbentuk manusia yang menggambarkan sedang memegang panah dan orang menggunakan tutup kepala seperti topi. Arca-arca perunggu tersebut ditemukan di Lumajang (Jawa Timur) dan Palembang (Sumatra Selatan). Patung perunggu berbentuk hewan juga ditemukan di Limbangan (Bogor). Patung hewan tersebut adalah patung yang menggambarkan seekor kerbau dengan panjang 10,9 cm dan tinggi 7,2 cm.
5) Perhiasan perunggu
Pada zaman logam, manusia purba sudah mengenal perhiasan dan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Perhiasan-perhiasan tersebut berupa gelang dan cincin. Gelang dan cincin perunggu pada umumnya tanpa hiasan, namun ada juga yang menggunakan hiasan dengan pola geometris atau berbentuk hewan. Gelang yang mempunyai hiasan biasanya besar dan tebal. Pola hias pada gelang berupa tumpal, garis, tangga, dan duri ikan. Pola hias lainnya adalah spiral yang disusun membentuk kerucut. Gelang dan cincin perunggu ditemukan hampir di semua daerah perkembangan budaya perunggu di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar