Proses disosiatif disebut pula proses oposisi. Oposisi dapat diartikan cara yang bertentangan dengan seseorang ataupun kelompok untuk mencapai tujuan tertentu. Proses disosiatif dapat dibedakan menjadi tiga bentuk sebagai berikut.
a. Persaingan (competition)
Persaingan merupakan suatu proses sosial ketika ada dua pihak atau lebih saling berlomba dan berbuat sesuatu untuk mencapai kemenangan tertentu. Persaingan terjadi apabila beberapa pihak menginginkan sesuatu yang jumlahnya terbatas atau menjadi pusat perhatian umum. Misalnya, ribuan remaja bersaing untuk masuk dalam 12 besar penyanyi idola.
Persaingan dilakukan dengan norma dan nilai yang diakui bersama dan berlaku pada masyarakat tersebut. Kecil kemungkinan, persaingan menggunakan kekerasan atau ancaman. Dengan kata lain, persaingan dilakukan secara sehat atau sportif. Misalnya, dalam sepak bola dikenal istilah fair play.
Persaingan yang disertai dengan kekerasan, ancaman, atau keinginan untuk merugikan pihak lain dinamakan persaingan tidak sehat. Tindakan seperti itu bukan lagi persaingan tetapi sudah menjurus pada permusuhan atau persengketaan.
Apa pun hasil dari suatu persaingan akan diterima dengan kepala dingin tanpa ada rasa dendam sedikitpun. Sejak awal, masing-masing pihak yang bersaing menyadari akan ada yang menang dan kalah.
Contoh:
• Dalam bidang ekonomi: persaingan antara produsen barang sejenis dalam merebut pasar yang terbatas.
• Dalam hal kedudukan: persaingan untuk menduduki jabatan strategis.
• Dalam kebudayaan: persaingan dalam penyebaran ideologi, pendidikan, dan unsur-unsur kebudayaan lainnya.
Persaingan memiliki beberapa fungsi berikut ini.
1) Menyalurkan keinginan individu atau kelompok yang sama-sama menuntut dipenuhi, padahal sulit dipenuhi semuanya secara serentak.
2) Menyalurkan kepentingan serta nilai-nilai dalam masyarakat, terutama kepentingan dan nilai yang menimbulkan konflik.
3) Menyeleksi individu yang pantas memperoleh kedudukan serta peran yang sesuai dengan kemampuannya.
b. Kontravensi
Kontravensi merupakan proses sosial yang ditandai oleh adanya ketidakpastian, keraguan, penolakan, dan penyangkalan yang tidak diungkapkan secara terbuka. Kontravensi adalah sikap menentang secara tersembunyi, agar tidak sampai terjadi perselisihan atau konflik secara terbuka. Penyebab kontravensi antara lain adalah perbedaan pendirian antara kalangan tertentu dengan pendirian kalangan lainnya dalam masyarakat, atau bisa juga dengan pendiriki keseluruhan masyarakat.
Menurut Leopold von Wiese dan Howard Becker, terdapat lima bentuk kontravensi sebagai berikut.
1) Kontravensi umum.
Misalnya: penolakan, keengganan, perlawanan, protes, gangguan, mengancam pihak lawan.
2) Kontravensi sederhana. Misalnya: menyangkal pernyataan orang di depan umum.
3) Kontravensi intensif. Misalnya: penghasutan, penyebaran desas-desus.
4) Kontravensi rahasia. Misalnya: pembocoran rahasia, khianat.
5) Kontravensi taktis. Misalnya: mengejutkan pihak lawan, provokasi, dan intimidasi.
c. Pertikaian
Pertikaian merupakan proses sosial bentuk lanjut dari kontravensi. Dalam pertikaian, perselisihan sudah bersifat terbuka. Pertikaian terjadi karena semakin tajamnya perbedaan antara kalangan tertentu dalam masyarakat.
Kondisi semakin tajamnya perbedaan mengakibatkan amarah, rasa benci yang mendorong tindakan untuk melukai, menghancurkan, atau menyerang pihak lain. Jadi, pertikaian muncul apabila individu atau kelompok berusaha memenuhi kebutuhan atau tujuannya dengan jalan menentang pihak lain lewat ancaman atau kekerasan.
d. Konflik
Pengertian konflik yang paling sederhana adalah saling memukul (configere). Namun, konflik tidak hanya berwujud pertentangan fisik semata. Dalam definisi yang lebih luas, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua pihak atau lebih ketika pihak yang satu berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya.
Sebagai proses sosial, konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan yang agaknya sulit didamaikan atau ditemukan kesamaannya. Perbedaan tersebut antara lain menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, dan keyakinan.
Konflik merupakan situasi wajar dalam setiap masyarakat. Bahkan, tidak ada satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik. Tiap masyarakat pasti pernah mengalami konflik, baik itu konflik dalam cakupan kecil ataupun konflik berskala besar. Konflik dalam cakupan kecil misalnya konflik dalam keluarga, konflik dengan teman, konflik dengan atasan, dan sebagainya. Sedangkan, konflik dalam cakupan besar misalnya konflik antargolongan atau antarkampung.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik dalam masyarakat adalah sebagai berikut.
1) Perbedaan individu, berupa perbedaan pendirian dan perasaan.
2) Perbedaan latar belakang kebudayaan, sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda-beda pula. Seseorang sedikit banyak akan terpcngaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya.
3) Perbedaan kepentingan antara individu dan kelompok, bisa menyangkut bidang ekonomi, politik, dan sosial.
4) Perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Menurut de Moor, konflik dalam masyarakat terjadi jika para anggotanya secara besar-besaran membiarkan diri dibimbing oleh tujuan-tujuan (nilai-nilai) yang bertentangan.
Menurut Dahrendorf, pembagian konflik adalah sebagai berikut.
1) Konflik antara atau dalam peran sosial, misalnya antara peran dalam keluarga dan profesi.
2) Konflik antara kelompok-kelompok sosial.
3) Konflik antara kelompok yang terorganisasi dengan kelompok yang tidak terorganisasi.
4) Konflik antara satuan nasional.
5) Konflik antarnegara atau antara negara dengan organisasi internasional.
Konflik bisa membawa akibat positif asalkan masalah yang dipertentangkan dan kalangan yang bertentangan memang konstruktif. Artinya, konflik itu sama-sama dilandasi kepentingan menjadikan masyarakat lebih baik.
Contoh:
Konflik mengenai kebebasan informasi. Kalangan yang satu menghendaki bebasnya informasi, dengan alasan melatih masyarakat untuk menyaring informasi secara mandiri. Kalangan yang lain menghendaki adanya lembaga sensor karena khawatir adanya informasi yang tidak mendidik. Kedua kalangan sama-masa menginginkan masyarakat yang semakin berktialitas.
Hasil dan akibat suatu konflik adalah sebagai berikut.
1) Meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
2) Keretakan hubungan antara anggota kelompok, misalnya akibat konflik antarsuku.
3) Perubahan kepribadian pada individu, misalnya adanya rasa benci dan saling curiga akibat perang.
4) Kerusakan harta benda dan hilangnya nyawa manusia.
5) Dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Konflik merupakan proses disosiatif yang tajam. Meskipun begitu, sebagai salah satu proses sosial, konflik dapat berfungsi positif bagi masyarakat. Fungsi-fungsi positif konflik tersebut adalah sebagai berikut.
1) Dapat memperjelas aspek-aspek kehidupan yang belum jelas atau belum tuntas dipelajari.
2) Memungkinkan adanya penyesuaian kembali norma-norma dan nilai-nilai serta hubungan sosial dalam kelompok bersangkutan sesuai dengan kebutuhan individu atau kelompok.
3) Merupakan jalan mengurangi ketegangan antarindividu dan antarkelompok.
4) Merupakan jalan untuk mengurangi atau menekan pertentangan yang terjadi dalam masyarakat.
5) Membantu menghidupkan kembali norma-norma lama dan menciptakan norma-norma baru.
6) Merupakan sarana untuk mencapai keseimbangan antara kekuatan-kekuatan dalam masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar